Kamis, 10 September 2015

Yang termasuk meninggal karena Jihad

syahid di medan perang. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171) Dalam hal ini ada beberapa hadits: 1. Rasulullah bersabda: لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ “Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih) 2. Salah seorang sahabat Rasulullah mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau menjawab: كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً “Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)
syahid di medan perang. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171) Dalam hal ini ada beberapa hadits: 1. Rasulullah bersabda: لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ “Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih) 2. Salah seorang sahabat Rasulullah mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau menjawab: كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً “Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)
Umur janin itu berkaitan dengan hukum nifas. Apabila keguguran terjadi setelah hari ke-80 dan tidak diketahui apakah janin sudah berbentuk manusia atau belum maka ada dua kemungkinan : 1.Apabila keguguran setelah hari ke 90 maka dihukumi dengan hukum nifas. Tidak boleh sholat, puasa dan tidak boleh bercampur dengan suaminya hingga darah berhenti, atau keluar cairan kekuning-kuningan atau keruh, atau mencapai hari ke-40 dari pendarahan. Jika telah mencapai hari ke-40 ini maka wanita tersebut mandi, boleh sholat, berpuasa, dan bercampur dengan suaminya. 2.Apabila belum mencapai usia 90 hari kehamilan dan tidak diketahui apakah janin sudah berbentuk manusia atau belum maka hendaknya wanita tersebut mengenakan pemabalut untuk mencegah keluarnya darah mengenai pakaiannya. Ia boleh sholat, puasa dan boleh bercampur dengan suami. Darah yang keluar darinya tidak membatalkan wudhu dan tidak wajib mengulang wudhunya setiap hendak sholat kecuali apabila ada pembatal wudhu lain seperti kencing atau buang air.[4] Ringkasannya adalah: -yang menjadi patokan adalah sudah terbentuk rupa jainin atau tidak (misalnya yang keguguran keluar ada bentuk tangan dan kaki, jika sudah terbentuk maka dianggap nifas, jika tidak maka dianggap darah biasa, wanita tersebut suci (tetap shalat, puasa dan hala bagi suaminya berhubungan dengannya) -jika terjadi keguguran masih dibawah 80 hari, maka bukan darah nifas, wanita tersebut masih suci -jika telah diatas 80 hari perlu dipastikan apakah sudah terbentuk rupa fisik manusia tidak, misalnya bertanya kepada dokter terpercaya. -jika diatas 90 hari (3 bulan) maka dihukumi dengan darah nifas.
Sesungguhnya, kalau manusia mati itu langsung ke alam barzah, tidak ada yang keluyuran, baik dia sudah tua ataupun masih bayi. Kalau ada kasus spt yang diceritakan itu: 1. orang yang bilang kalau ditempeli anak2... adalah orang yang dibantu jin utk melihat sebangsanya. 2. kalau benar kamu ditempeli anak2 spt yg dilihat orang itu, berarti ada jin yang berusaha utk menggoyahkan iman kamu, agar percaya dgn ruh gentayangan. 3. banyaklah ber istighfar saja..
Berikut penjelasan rincinya, 1. Tidak boleh menggugurkan kandungan untuk semua fase kehamilan, kecuali karena ada alasan yang dibenarkan secara syariat. Itupun dengan batasan yang sangat sempit. Sampaipun di fase 40 hari pertama. Hanya boleh dilakukan karena ada alasan yang dibolehkan secara syariat.Sementara menggugurkan kandungan, karena khawatir terlalu berat dalam mengasuh anak, atau tidak mampu menanggung kehidupan mereka, atau merasa cukup dengan anak yang sudah dimiliki dan tidak mau memiliki anak lagi, maka ini semua tidak dinilai sebagai pembenar yang diizinkan syariat. Sehingga menggugurkan kandungan karena alasan semacam ini, tidak dibolehkan. Komite Ulama telah menegaskan hal ini, meskipun tindakan menggugurkan itu dilakukan di fase 40 yang pertama. 2. Jika kandungan telah berusia 120 hari, tidak halal untuk digugurkan, meskipun menurut prediksi dokter disimpulkan bentuknya cacat. Karena pada usia ini telah ditiupkan ruh kedalam janin, dan telah menjadi manusia. Sehingga menggugurkan janin pada usia ini hakekatnya adalah membunuh manusia. Hanya saja, jika membiarkan janin ini akan membahayakan, yang mengancam kehidupan ibunya, apakah dalam keadaan ini boleh digugurkan?Ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini,Pendapat pertama, tidak boleh digugurkan, meskipun dipastikan membahayakan, bahkan meskipun ibunya meninggal jika janin tetap tidak digugurkan. Diantara ulama yang berpendapat semacam ini adalah Imam Muhammad Al-Utsaimin rahimahullah.Mereka menegaskan, selama ruh sudah ditiupkan, tidak boleh digugurkan, apapun keadaannya. Bahkan meskipun dokter memutuskan, jika janin tidak digugurkan, ibunya akan mati, tetap tidak boleh digugurkan. Alasan yang mereka sampaikan:Bahwa kita dilarang untuk membunuh satu nyawa, dalam rangka mempertahankan nyawa lainnya. Sementara menggugurkan janin setelah berusia 120 hari, termasuk membunuh jiwa. Jika ada yang bertanya, “Apabila kita pertahankan janin, kemudian ibunya mati, maka janin juga akan mati. Sehingga yang mati dua nyawa. Namun jika kita keluarkan janin, bisa jadi ibunya akan selamat.” Jawaban Imam Ibnu Utsaimin, Jika kita pertahankan janin, kemudian ibunya mati sebab janin itu, dan janin itu juga mati setelah ibunya maka kematian ibunya bukan karena perbuatan kita, namun murni takdir Allah. Dialah yang menetapkan kematian ini untuk sang ibu, disebabkan kehamilan. Berbeda dengan ketika kita gugurkan janin yang sudah hidup, kemudian mati karena digugurkan, berarti kematian janin ini disebabkan perbuatan kita, dan itu tidak boleh kita lakukan. Kesimpulannya, pendapat pertama ini berpendapat bahwa menggugurkannya setelah 120 hari, melanggar hak orang lain, membunuh satu nyawa untuk mempertahankan nyawa yang lain. Pendapat kedua, apabila dokter terpercaya telah menetapkan bahwa jika janin dibiarkan akan mengancam keselamatan ibunya, bahkan akan menyebabkan kematian ibunya jika janin dibiarkan setelah dilakukan semua bentuk sarana untuk menyelamatkan hidup janin, maka dalam kondisi ini boleh digugurkan.Diantara yang menguatkan pendapat ini adalah Komite Ulama Besar KSA dan Majma’ Fiqh islami di bawah Rabithah. Mereka beralasan: Menggugurkan janin dalam kondisi ini, termasuk mengambil sikap menghindari bahaya yang lebih besar, dan mengambil yang lebih maslahat. Karena dalam kasus ini kita dihadapkan dua hal yang mengancam: kematian ibu dan kematian janin. Sementara kematian ibu lebih besar bahayanya dibandingkan kematian janin. Karena kemungkinan untuk bisa hidup bagi ibu, lebih meyakinkan. Sementara peluang untuk hidup bagi sang janin setelah dia lahir, masih diragukan. Sehingga kematian ibunya lebih besar kerugiannya. Karena itu, boleh menggugurkan janin, dalam rangka menghindari kerugian yang lebih besar. Pendapat kedua inilah yang lebih mendekatikebenaran. Allahu a’lam. Hanya saja, ini boleh dilakukan dengan syarat, dan tidak berlaku mutlak. Syaratnya adalah ada kesepakatan diantara para dokter bahwa mempertahankan janin ini akan membahayakan kehidupan ibunya. Dan jika janin dipertahankan, akan menyebabkan kematian ibunya. Apabila dokter telah sepakat hal itu, padahal sudah dilakukan segala upaya untuk mempertahankan kehidupannya, namun itu tidak mungkin kecuali dengan menggugurkan janin, dalam rangka menyelamatkan nyawa ibunya, boleh menggugurkannya dalam kondisi ini. Itulah pendapat yang lebih mendekati dalam masalah ini. Sanggahan bagi pendapat pertama yang melarang menggugurkan janin, karena tidak boleh menghilangkan satu nyawa untuk mempertahankan nyawa yang lain. Bisa kita jawab, Sekaran kita memiliki dua jiwa: Ibu dan janin. Jika janin tidak digugurkan, akan menyebabkan kematian ibunya. Padahal kematian ibu lebih besar kerugiannya. Sehingga boleh menggugurkan janin, dalam rangka menghindari bahaya yang lebih besar. 3. Sebelum menginjak usia 120 hari di kandungan, janin berada pada fase segumpal darah dan daging. Apabila dokter menetapkan bahwa pada fase itu janin mengalami cacat yang membahayakan, tidak mungkin bisa disembuhkan, dan jika dibiarkan hidup maka kondisi hidupnnya buruk, menjadi masalah baginya dan bagi keluarganya, maka dalam kondisi ini boleh digugurkan, sesuai dengan permintaan orang tua. Karena janin pada fase ini belum ditiupkan ruh, dan belum disebut manusia. Baru berbentuk mudhghah (segumpal daging) atau ‘alaqah (segumpal darah), sehingga boleh digugurkan. 4. Pada fase 40 hari pertama, boleh digugurkan jika terdapat maslahat yang mendesak secara syariat, atau untuk menghindari bahaya yang pasti terjadi. Diantaranya adalah jika janin ini dibiarkan hidup, akan cacat secara fisik. Sehingga kondisi janin semacam ini, tidakmasalah digugurkan pada fase 40 yang pertama, dengan catatan di atas. Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkan untuk menggugurkannya tanpa syarat apapun. Dan itulah zhahir madzhab hambali. Dari penjelasan di atas, para ulama sangat keras menentang tindakan menggugurkan janin setelah berusia 120 hari, kemudian pada fase kedua, fase mudhghah dan ‘alaqah, mereka mengambil sikap keras menentang, namun tidak sebagaimana yang pertama. Adapun pada fase 40 hari pertama, mereka tidak banyak mengambil sikap keras dalam masalah ini. Karena itulah, boleh menggugurkan kandungan pada fase 40 hari pertama…. Allahu a’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar