Senin, 07 Desember 2015

Ketulususan Dalam Bersedekah

Sayyidina Ali Jual-Beli dengan Dua MalaikatKisah ini diriwayatkan Ja’far bin Muhammad, yang memiliki sanad dari ayahnya, lalu dari kakeknya. Suatu ketika, cerita kakek Ja’far, Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramaLlahu wajhah mengunjungi rumahnya selepas silaturahim kepada Rasulullah.Di rumah itu Ali menjumpai istrinya, Sayyidah Fathimah, sedang duduk memintal, sementara Salman al-Farisi berada di hadapannya tengah menggelar wol. “Wahai perempuan mulia, adakah makanan yang bisa kau berikan kepada suamimu ini?” tanya Ali kepada istrinya.“Demi Allah, aku tidak mempunyai apapun. Hanya enam dirham ini, ongkos dari Salman karena aku telah memintal wol,” jawabnya. “Uang ini ingin aku belikan makanan untuk (anak kita) Hasan dan Husain.”“Bawa kemari uang itu.” Fathimah segera memberikannya dan Ali pun keluar membeli makanan.Tiba-tiba ia bertemu seorang laki-laki yang berdiri sambil berujar, “Siapa yang ingin memberikan hutang (karena) Allah yang maha menguasai dan mencukupi?” Sayyidina Ali mendekat dan langsung memberikan enam dirham di tangannya kepada lelaki tersebut.Fatimah menangis saat mengetahui suaminya pulang dengan tangan kosong. Sayyidina Ali hanya bisa menjelaskan peristiwa secara apa adanya.“Baiklah,” kata Fathimah, tanda bahwa ia menerima keputusan dan tindakan suaminya.Sekali lagi, Sayyidina Ali bergegas keluar. Kali ini bukan untuk mencari makanan melainkan mengunjungi Rasulullah. Di tengah jalan seorang Badui yang sedang menuntun unta menyapanya. “Hai Ali, belilah unta ini dariku.””Aku sudah tak punya uang sepeser pun.”“Ah, kau bisa bayar nanti.”“Berapa?”“Seratus dirham.”Sayyidina Ali sepakat membeli unta itu meskipun dengan cara hutang. Sesaat kemudian, tanpa disangka, sepupu Nabi ini berjumpa dengan orang Badui lainnya.“Apakah unta ini kau jual?”“Benar,” jawab Ali.“Berapa?”“Tiga ratus dirham.”Si Badui membayarnya kontan, dan unta pun sah menjadi tunggangan barunya. Ali segara pulang kepada istrinya. Wajah Fatimah kali ini tampak berseri menunggu penjelasan Sayyidina Ali atas kejadian yang baru saja dialami.“Baiklah,” kata Fatimah selepas mendengarkan cerita suaminya.Ali bertekad menghadap Rasulullah. Saat kaki memasuki pintu masjid, sambutan hangat langsung datang dari Rasulullah. Nabi melempar senyum dan salam, lalu bertanya, “Hai Ali, kau yang akan memberiku kabar, atau aku yang akan memberimu kabar?”“Sebaiknya Engkau, ya Rasulullah, yang memberi kabar kepadaku.”“Tahukah kamu, siapa orang Badui yang menjual unta kepadamu dan orang Badui yang membeli unta darimu?”“Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu,” sahut Ali memasrahkan jawaban.“Sangat beruntung kau, wahai Ali. Kau telah memberi pinjaman karena Allah sebesar enam dirham, dan Allah pun telah memberimu tiga ratus dirham, 50 kali lipat dari tiap dirham. Badui yang pertama adalah malaikat Jibril, sedangkan Badui yang kedua adalah malaikat Israfil (dalam riwayat lain, malaikat Mikail).”Kisah yang bisa kita baca dari kitab al-Aqthaf ad-Daniyah ini menggambarkan betapa ketulusan Ali dalam menolong sesama telah membuahkan balasan berlipat, bahkan dengan cara dan hasil di luar dugaannya. Keluasan hati istrinya, Fathimah, untuk menerima keterbatasan juga melengkapi kisah kebersahajaan hidup keluarga ini. Dukungan penuh dari Fathimah telah menguatkan sang suami untuk tetap bermanfaat bagi orang lain, meski untuk sementara waktu mengabaikan kepentingannya sendiri: makan. (Mahbib Khoiron)

Minggu, 06 Desember 2015

Akibat Mengejek

Akibat Mengejek
🔎 Ibnu Rojab Al-Hanbali berkata :
ولمَّا ركب ابنَ سيرين الدَّيْنُ وحُبس به قال: “إني أعرف الذنبَ الَّذِي أصابني هذا، عيَّرت رجلاً منذ أربعين سنة فقلت له: يا مُفلس
“Tatkala Ibnu Sirin rahimahullah dililit oleh hutang dan dipenjara karena hutang tersebut, ia berkata : “Sungguh aku mengetahui dosa yang menjadikan aku ditimpa musibah ini. Aku telah mengejek seseorang empat puluh tahun yang lalu, aku berkata kepadanya : “Wahai si bangkrut” (Majmu’ Rosaail Ibni Rojab 2/413)
Ibnu Sirin adalah ulamanya para tabi’in, tatkala pernyataan Ibnu Sirin di atas disampaikan kepada Abu Sulaiman, maka Abu Sulaiman berkata :
قَلَّتْ ذنوبهم فعرفوا من أين أتوا، وكثرت ذنوبنا فلم نعرف من أين نؤتى
“Dosa-dosa mereka sedikit maka merekapun sadar dan tahu darimana (karena dosa yang mana) sehingga musibah mendatangi mereka. Dan dosa-dosa kita banyak sehingga kita tidak tahu sebab dosa yang mana kita terkena musibah” (Majmu’ Rosaail Ibni Rojab 1/364).
🍃 Hati-hati dengan dosa-dosa, terutama dosa yang berkaitan dengan orang lain, meskipun terkadang kita anggap sepele. Diantaranya dosa mengejek atau merendahkan orang lain, bisa jadi suatu saat kitalah yang termakan ejekan kita.

Rabu, 16 September 2015

Tanda-tanda Kecil hari Qiamat ; Berlomba-lomba menghiasi Masjid Dan Berbangga-banga dengannya

Tanda-tanda kecil hari Kiamat : BERLOMBA-LOMBA MENGHIASI MASJID DAN BERBANGGA-BANGGA DENGANNYA. Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu anhu, bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: لاَ تَقُومُ السَّاعَةُ حَتَّى يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ “Tidak akan tiba Kiamat hingga manusia saling berbangga-bangga dengan masjidnya.” [HR Ahmad] Dalam riwayat an-Nasa-i juga Ibnu Majah dari beliau (Anas) Radhiyallahu anhu, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَتَبَاهَى النَّاسُ فِي الْمَسَاجِدِ “Di antara tanda-tanda Kiamat adalah manusia saling berbangga-bangga dengan masjid.” [HR Nasa’i - Ibnu Khuzaimah] Al-Bukhari berkata, Anas berkata, ‘Berbangga-bangga dengannya kemudian tidak memakmurkannya (mengisinya dengan berbagai macam ibadah-ed.) kecuali sedikit saja, maka makna dari berbangga-bangga dengannya adalah hanya memperhatikan hiasannya saja. Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu anhuma berkata, ‘Sungguh kalian akan menghiasinya sebagaimana dilakukan oleh kaum Yahudi dan Nasrani (menghias tempat ibadah mereka).’” [HR Bukhari] ‘Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu anhu pernah melarang menghiasi masjid karena hal itu bisa menghilangkan konsentrasi (kekhusu’an) bagi orang yang sedang melakukan shalat. Beliau berkata ketika memerintahkan untuk memperbaharui pembangunan Masjid Nabawi: أَكِنَّ النَّاسَ مِنَ الْمَطَرِ، وَإِيَّاكَ أَنْ تُحَمِّرَ أَوْ تُصَفِّرَ فَتَفْتِنَ النَّاسَ “Tutupilah orang-orang dari air hujan, dan janganlah kalian menghiasinya dengan warna merah atau warna kuning, sehingga orang-orang terganggu dengannya.” [HR Bukhari] Semoga Allah memberikan kasih sayang-Nya kepada ‘Umar; karena terbukti orang-orang tidak memegang wasiatnya, mereka bukan saja memberikan warna merah dan warna kuning, akan tetapi mereka menghiasinya sebagaimana mereka menghiasai pakaian. Para raja juga khalifah berbangga-bangga membangun masjid dan menghiasinya hingga mereka melakukan sesuatu yang sangat mencengangkan. Masjid-masjid itu tetap tegak sampai saat ini, sebagaimana terdapat di Syam, Mesir, negeri-negeri Maghrib (Maroko), Andalusia dan yang lainnya, dan hingga saat ini kaum muslimin senantiasa berbangga-bangga dalam menghiasi masjid. Tidak diragukan lagi bahwa menghiasi masjid merupakan ciri sikap boros. Sedangkan meramaikannya hanyalah dengan melakukan ketaatan dan dzikir kepada Allah di dalamnya. Cukuplah bagi manusia membuat sesuatu yang dapat melindunginya dari panas, dingin, dan hujan. Telah datang ancaman dengan kehancuran ketika masjid dihiasi dan al-Qur-an diperindah (dengan berbagai corak). Al-Hakim dan at-Tirmidzi meriwayatkan dari Abud Darda Radhiyallahu anhu, dia berkata: إِذَا زَوَّقْتُمْ مَسَاجِدَكُمْ، وَحَلَّيْتُمْ مَصَاحِفَكُمْ، فَالدِّمَارُ عَلَيْكُمْ “Jika kalian menghiasi masjid-masjid dan mushhaf kalian, maka kehancuranlah yang akan menimpa kalian.” [Shahiih al-Jaami’ish Shagiir I/220, no. 599] Al-Munawi rahimahullah berkata, “Menghiasi masjid dan mushhaf adalah sesuatu yang dilarang, karena hal itu bisa menyibukkan hati, dan menghilangkan kekhusyu’an dari bertadabbur dan hadirnya hati dengan mengingat Allah Ta’ala. Madzhab asy-Syafi’i berpendapat bahwa menghiasi masjid -walaupun Ka’bah- dengan emas atau perak diharamkan secara mutlak, adapun dengan selain keduanya

Kamis, 10 September 2015

Jihad

Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171) Dalam hal ini ada beberapa hadits: 1. Rasulullah bersabda: لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ “Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih) 2. Salah seorang sahabat Rasulullah mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau menjawab: كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً “Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)
syahid di medan perang. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171) Dalam hal ini ada beberapa hadits: 1. Rasulullah bersabda: لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ “Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih) 2. Salah seorang sahabat Rasulullah mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau menjawab: كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً “Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)
Umur janin itu berkaitan dengan hukum nifas. Apabila keguguran terjadi setelah hari ke-80 dan tidak diketahui apakah janin sudah berbentuk manusia atau belum maka ada dua kemungkinan : 1.Apabila keguguran setelah hari ke 90 maka dihukumi dengan hukum nifas. Tidak boleh sholat, puasa dan tidak boleh bercampur dengan suaminya hingga darah berhenti, atau keluar cairan kekuning-kuningan atau keruh, atau mencapai hari ke-40 dari pendarahan. Jika telah mencapai hari ke-40 ini maka wanita tersebut mandi, boleh sholat, berpuasa, dan bercampur dengan suaminya. 2.Apabila belum mencapai usia 90 hari kehamilan dan tidak diketahui apakah janin sudah berbentuk manusia atau belum maka hendaknya wanita tersebut mengenakan pemabalut untuk mencegah keluarnya darah mengenai pakaiannya. Ia boleh sholat, puasa dan boleh bercampur dengan suami. Darah yang keluar darinya tidak membatalkan wudhu dan tidak wajib mengulang wudhunya setiap hendak sholat kecuali apabila ada pembatal wudhu lain seperti kencing atau buang air.[4] Ringkasannya adalah: -yang menjadi patokan adalah sudah terbentuk rupa jainin atau tidak (misalnya yang keguguran keluar ada bentuk tangan dan kaki, jika sudah terbentuk maka dianggap nifas, jika tidak maka dianggap darah biasa, wanita tersebut suci (tetap shalat, puasa dan hala bagi suaminya berhubungan dengannya) -jika terjadi keguguran masih dibawah 80 hari, maka bukan darah nifas, wanita tersebut masih suci -jika telah diatas 80 hari perlu dipastikan apakah sudah terbentuk rupa fisik manusia tidak, misalnya bertanya kepada dokter terpercaya. -jika diatas 90 hari (3 bulan) maka dihukumi dengan darah nifas.
Sesungguhnya, kalau manusia mati itu langsung ke alam barzah, tidak ada yang keluyuran, baik dia sudah tua ataupun masih bayi. Kalau ada kasus spt yang diceritakan itu: 1. orang yang bilang kalau ditempeli anak2... adalah orang yang dibantu jin utk melihat sebangsanya. 2. kalau benar kamu ditempeli anak2 spt yg dilihat orang itu, berarti ada jin yang berusaha utk menggoyahkan iman kamu, agar percaya dgn ruh gentayangan. 3. banyaklah ber istighfar saja..
Berikut penjelasan rincinya, 1. Tidak boleh menggugurkan kandungan untuk semua fase kehamilan, kecuali karena ada alasan yang dibenarkan secara syariat. Itupun dengan batasan yang sangat sempit. Sampaipun di fase 40 hari pertama. Hanya boleh dilakukan karena ada alasan yang dibolehkan secara syariat.Sementara menggugurkan kandungan, karena khawatir terlalu berat dalam mengasuh anak, atau tidak mampu menanggung kehidupan mereka, atau merasa cukup dengan anak yang sudah dimiliki dan tidak mau memiliki anak lagi, maka ini semua tidak dinilai sebagai pembenar yang diizinkan syariat. Sehingga menggugurkan kandungan karena alasan semacam ini, tidak dibolehkan. Komite Ulama telah menegaskan hal ini, meskipun tindakan menggugurkan itu dilakukan di fase 40 yang pertama. 2. Jika kandungan telah berusia 120 hari, tidak halal untuk digugurkan, meskipun menurut prediksi dokter disimpulkan bentuknya cacat. Karena pada usia ini telah ditiupkan ruh kedalam janin, dan telah menjadi manusia. Sehingga menggugurkan janin pada usia ini hakekatnya adalah membunuh manusia. Hanya saja, jika membiarkan janin ini akan membahayakan, yang mengancam kehidupan ibunya, apakah dalam keadaan ini boleh digugurkan?Ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini,Pendapat pertama, tidak boleh digugurkan, meskipun dipastikan membahayakan, bahkan meskipun ibunya meninggal jika janin tetap tidak digugurkan. Diantara ulama yang berpendapat semacam ini adalah Imam Muhammad Al-Utsaimin rahimahullah.Mereka menegaskan, selama ruh sudah ditiupkan, tidak boleh digugurkan, apapun keadaannya. Bahkan meskipun dokter memutuskan, jika janin tidak digugurkan, ibunya akan mati, tetap tidak boleh digugurkan. Alasan yang mereka sampaikan:Bahwa kita dilarang untuk membunuh satu nyawa, dalam rangka mempertahankan nyawa lainnya. Sementara menggugurkan janin setelah berusia 120 hari, termasuk membunuh jiwa. Jika ada yang bertanya, “Apabila kita pertahankan janin, kemudian ibunya mati, maka janin juga akan mati. Sehingga yang mati dua nyawa. Namun jika kita keluarkan janin, bisa jadi ibunya akan selamat.” Jawaban Imam Ibnu Utsaimin, Jika kita pertahankan janin, kemudian ibunya mati sebab janin itu, dan janin itu juga mati setelah ibunya maka kematian ibunya bukan karena perbuatan kita, namun murni takdir Allah. Dialah yang menetapkan kematian ini untuk sang ibu, disebabkan kehamilan. Berbeda dengan ketika kita gugurkan janin yang sudah hidup, kemudian mati karena digugurkan, berarti kematian janin ini disebabkan perbuatan kita, dan itu tidak boleh kita lakukan. Kesimpulannya, pendapat pertama ini berpendapat bahwa menggugurkannya setelah 120 hari, melanggar hak orang lain, membunuh satu nyawa untuk mempertahankan nyawa yang lain. Pendapat kedua, apabila dokter terpercaya telah menetapkan bahwa jika janin dibiarkan akan mengancam keselamatan ibunya, bahkan akan menyebabkan kematian ibunya jika janin dibiarkan setelah dilakukan semua bentuk sarana untuk menyelamatkan hidup janin, maka dalam kondisi ini boleh digugurkan.Diantara yang menguatkan pendapat ini adalah Komite Ulama Besar KSA dan Majma’ Fiqh islami di bawah Rabithah. Mereka beralasan: Menggugurkan janin dalam kondisi ini, termasuk mengambil sikap menghindari bahaya yang lebih besar, dan mengambil yang lebih maslahat. Karena dalam kasus ini kita dihadapkan dua hal yang mengancam: kematian ibu dan kematian janin. Sementara kematian ibu lebih besar bahayanya dibandingkan kematian janin. Karena kemungkinan untuk bisa hidup bagi ibu, lebih meyakinkan. Sementara peluang untuk hidup bagi sang janin setelah dia lahir, masih diragukan. Sehingga kematian ibunya lebih besar kerugiannya. Karena itu, boleh menggugurkan janin, dalam rangka menghindari kerugian yang lebih besar. Pendapat kedua inilah yang lebih mendekatikebenaran. Allahu a’lam. Hanya saja, ini boleh dilakukan dengan syarat, dan tidak berlaku mutlak. Syaratnya adalah ada kesepakatan diantara para dokter bahwa mempertahankan janin ini akan membahayakan kehidupan ibunya. Dan jika janin dipertahankan, akan menyebabkan kematian ibunya. Apabila dokter telah sepakat hal itu, padahal sudah dilakukan segala upaya untuk mempertahankan kehidupannya, namun itu tidak mungkin kecuali dengan menggugurkan janin, dalam rangka menyelamatkan nyawa ibunya, boleh menggugurkannya dalam kondisi ini. Itulah pendapat yang lebih mendekati dalam masalah ini. Sanggahan bagi pendapat pertama yang melarang menggugurkan janin, karena tidak boleh menghilangkan satu nyawa untuk mempertahankan nyawa yang lain. Bisa kita jawab, Sekaran kita memiliki dua jiwa: Ibu dan janin. Jika janin tidak digugurkan, akan menyebabkan kematian ibunya. Padahal kematian ibu lebih besar kerugiannya. Sehingga boleh menggugurkan janin, dalam rangka menghindari bahaya yang lebih besar. 3. Sebelum menginjak usia 120 hari di kandungan, janin berada pada fase segumpal darah dan daging. Apabila dokter menetapkan bahwa pada fase itu janin mengalami cacat yang membahayakan, tidak mungkin bisa disembuhkan, dan jika dibiarkan hidup maka kondisi hidupnnya buruk, menjadi masalah baginya dan bagi keluarganya, maka dalam kondisi ini boleh digugurkan, sesuai dengan permintaan orang tua. Karena janin pada fase ini belum ditiupkan ruh, dan belum disebut manusia. Baru berbentuk mudhghah (segumpal daging) atau ‘alaqah (segumpal darah), sehingga boleh digugurkan. 4. Pada fase 40 hari pertama, boleh digugurkan jika terdapat maslahat yang mendesak secara syariat, atau untuk menghindari bahaya yang pasti terjadi. Diantaranya adalah jika janin ini dibiarkan hidup, akan cacat secara fisik. Sehingga kondisi janin semacam ini, tidakmasalah digugurkan pada fase 40 yang pertama, dengan catatan di atas. Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkan untuk menggugurkannya tanpa syarat apapun. Dan itulah zhahir madzhab hambali. Dari penjelasan di atas, para ulama sangat keras menentang tindakan menggugurkan janin setelah berusia 120 hari, kemudian pada fase kedua, fase mudhghah dan ‘alaqah, mereka mengambil sikap keras menentang, namun tidak sebagaimana yang pertama. Adapun pada fase 40 hari pertama, mereka tidak banyak mengambil sikap keras dalam masalah ini. Karena itulah, boleh menggugurkan kandungan pada fase 40 hari pertama…. Allahu a’lam

Yang termasuk meninggal karena Jihad

syahid di medan perang. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171) Dalam hal ini ada beberapa hadits: 1. Rasulullah bersabda: لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ “Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih) 2. Salah seorang sahabat Rasulullah mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau menjawab: كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً “Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)
syahid di medan perang. Allah berfirman: “Dan janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati bahkan mereka hidup di sisi Rabb mereka dengan mendapatkan rizki. Mereka dalam keadaan gembira disebabkan karunia Allah yang diberikan-Nya kepada mereka dan mereka beriang hati terhadap orang-orang yang masih tinggal di belakang mereka (yang masih berjihad di jalan Allah) yang belum menyusul mereka. Ketahuilah tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak pula mereka bersedih hati. Mereka bergembira dengan nikmat dan karunia yang besar dari Allah dan Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman.” (Ali Imran: 169-171) Dalam hal ini ada beberapa hadits: 1. Rasulullah bersabda: لِلشَّهِيْدِ عِنْدَ اللهِ سِتُّ خِصَالٍ: يُغْفَرُ لَهُ فِي أَوَّلِ دَفْعَةٍ مِنْ دَمِهِ، وَيُرَى مَقْعَدُهُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَيُجَارُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَيَأْمَنُ الْفَزَعَ الْأَكْبَرَ، وَيُحَلَّى حِلْيَةَ الْإِيْمَانِ، وَيُزَوَّجُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ، وَيُشَفَّعُ فِي سَبْعِيْنَ إِنْسَانًا مِنْ أَقَارِبِهِ “Bagi orang syahid di sisi Allah ia beroleh enam perkara, yaitu diampuni dosanya pada awal mengalirnya darahnya, diperlihatkan tempat duduknya di surga, dilindungi dari adzab kubur, aman dari kengerian yang besar (hari kiamat), dipakaikan perhiasan iman, dinikahkan dengan hurun ‘in (bidadari surga), dan diperkenankan memberi syafaat kepada tujuh puluh orang dari kalangan kerabatnya.” (HR. At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad dengan sanad yang shahih) 2. Salah seorang sahabat Rasulullah mengabarkan: Ada orang yang bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa kaum mukminin mendapatkan fitnah (ditanya) dalam kubur mereka kecuali orang yang mati syahid?” Beliau menjawab: كَفَى بِبَارَقَةِ السُّيُوْفِ عَلَى رَأْسِهِ فِتْنَةً “Cukuplah kilatan pedang di atas kepalanya sebagai fitnah (ujian).” (HR. An-Nasa`i dengan sanad yang shahih)
Umur janin itu berkaitan dengan hukum nifas. Apabila keguguran terjadi setelah hari ke-80 dan tidak diketahui apakah janin sudah berbentuk manusia atau belum maka ada dua kemungkinan : 1.Apabila keguguran setelah hari ke 90 maka dihukumi dengan hukum nifas. Tidak boleh sholat, puasa dan tidak boleh bercampur dengan suaminya hingga darah berhenti, atau keluar cairan kekuning-kuningan atau keruh, atau mencapai hari ke-40 dari pendarahan. Jika telah mencapai hari ke-40 ini maka wanita tersebut mandi, boleh sholat, berpuasa, dan bercampur dengan suaminya. 2.Apabila belum mencapai usia 90 hari kehamilan dan tidak diketahui apakah janin sudah berbentuk manusia atau belum maka hendaknya wanita tersebut mengenakan pemabalut untuk mencegah keluarnya darah mengenai pakaiannya. Ia boleh sholat, puasa dan boleh bercampur dengan suami. Darah yang keluar darinya tidak membatalkan wudhu dan tidak wajib mengulang wudhunya setiap hendak sholat kecuali apabila ada pembatal wudhu lain seperti kencing atau buang air.[4] Ringkasannya adalah: -yang menjadi patokan adalah sudah terbentuk rupa jainin atau tidak (misalnya yang keguguran keluar ada bentuk tangan dan kaki, jika sudah terbentuk maka dianggap nifas, jika tidak maka dianggap darah biasa, wanita tersebut suci (tetap shalat, puasa dan hala bagi suaminya berhubungan dengannya) -jika terjadi keguguran masih dibawah 80 hari, maka bukan darah nifas, wanita tersebut masih suci -jika telah diatas 80 hari perlu dipastikan apakah sudah terbentuk rupa fisik manusia tidak, misalnya bertanya kepada dokter terpercaya. -jika diatas 90 hari (3 bulan) maka dihukumi dengan darah nifas.
Sesungguhnya, kalau manusia mati itu langsung ke alam barzah, tidak ada yang keluyuran, baik dia sudah tua ataupun masih bayi. Kalau ada kasus spt yang diceritakan itu: 1. orang yang bilang kalau ditempeli anak2... adalah orang yang dibantu jin utk melihat sebangsanya. 2. kalau benar kamu ditempeli anak2 spt yg dilihat orang itu, berarti ada jin yang berusaha utk menggoyahkan iman kamu, agar percaya dgn ruh gentayangan. 3. banyaklah ber istighfar saja..
Berikut penjelasan rincinya, 1. Tidak boleh menggugurkan kandungan untuk semua fase kehamilan, kecuali karena ada alasan yang dibenarkan secara syariat. Itupun dengan batasan yang sangat sempit. Sampaipun di fase 40 hari pertama. Hanya boleh dilakukan karena ada alasan yang dibolehkan secara syariat.Sementara menggugurkan kandungan, karena khawatir terlalu berat dalam mengasuh anak, atau tidak mampu menanggung kehidupan mereka, atau merasa cukup dengan anak yang sudah dimiliki dan tidak mau memiliki anak lagi, maka ini semua tidak dinilai sebagai pembenar yang diizinkan syariat. Sehingga menggugurkan kandungan karena alasan semacam ini, tidak dibolehkan. Komite Ulama telah menegaskan hal ini, meskipun tindakan menggugurkan itu dilakukan di fase 40 yang pertama. 2. Jika kandungan telah berusia 120 hari, tidak halal untuk digugurkan, meskipun menurut prediksi dokter disimpulkan bentuknya cacat. Karena pada usia ini telah ditiupkan ruh kedalam janin, dan telah menjadi manusia. Sehingga menggugurkan janin pada usia ini hakekatnya adalah membunuh manusia. Hanya saja, jika membiarkan janin ini akan membahayakan, yang mengancam kehidupan ibunya, apakah dalam keadaan ini boleh digugurkan?Ulama kontemporer berbeda pendapat dalam masalah ini,Pendapat pertama, tidak boleh digugurkan, meskipun dipastikan membahayakan, bahkan meskipun ibunya meninggal jika janin tetap tidak digugurkan. Diantara ulama yang berpendapat semacam ini adalah Imam Muhammad Al-Utsaimin rahimahullah.Mereka menegaskan, selama ruh sudah ditiupkan, tidak boleh digugurkan, apapun keadaannya. Bahkan meskipun dokter memutuskan, jika janin tidak digugurkan, ibunya akan mati, tetap tidak boleh digugurkan. Alasan yang mereka sampaikan:Bahwa kita dilarang untuk membunuh satu nyawa, dalam rangka mempertahankan nyawa lainnya. Sementara menggugurkan janin setelah berusia 120 hari, termasuk membunuh jiwa. Jika ada yang bertanya, “Apabila kita pertahankan janin, kemudian ibunya mati, maka janin juga akan mati. Sehingga yang mati dua nyawa. Namun jika kita keluarkan janin, bisa jadi ibunya akan selamat.” Jawaban Imam Ibnu Utsaimin, Jika kita pertahankan janin, kemudian ibunya mati sebab janin itu, dan janin itu juga mati setelah ibunya maka kematian ibunya bukan karena perbuatan kita, namun murni takdir Allah. Dialah yang menetapkan kematian ini untuk sang ibu, disebabkan kehamilan. Berbeda dengan ketika kita gugurkan janin yang sudah hidup, kemudian mati karena digugurkan, berarti kematian janin ini disebabkan perbuatan kita, dan itu tidak boleh kita lakukan. Kesimpulannya, pendapat pertama ini berpendapat bahwa menggugurkannya setelah 120 hari, melanggar hak orang lain, membunuh satu nyawa untuk mempertahankan nyawa yang lain. Pendapat kedua, apabila dokter terpercaya telah menetapkan bahwa jika janin dibiarkan akan mengancam keselamatan ibunya, bahkan akan menyebabkan kematian ibunya jika janin dibiarkan setelah dilakukan semua bentuk sarana untuk menyelamatkan hidup janin, maka dalam kondisi ini boleh digugurkan.Diantara yang menguatkan pendapat ini adalah Komite Ulama Besar KSA dan Majma’ Fiqh islami di bawah Rabithah. Mereka beralasan: Menggugurkan janin dalam kondisi ini, termasuk mengambil sikap menghindari bahaya yang lebih besar, dan mengambil yang lebih maslahat. Karena dalam kasus ini kita dihadapkan dua hal yang mengancam: kematian ibu dan kematian janin. Sementara kematian ibu lebih besar bahayanya dibandingkan kematian janin. Karena kemungkinan untuk bisa hidup bagi ibu, lebih meyakinkan. Sementara peluang untuk hidup bagi sang janin setelah dia lahir, masih diragukan. Sehingga kematian ibunya lebih besar kerugiannya. Karena itu, boleh menggugurkan janin, dalam rangka menghindari kerugian yang lebih besar. Pendapat kedua inilah yang lebih mendekatikebenaran. Allahu a’lam. Hanya saja, ini boleh dilakukan dengan syarat, dan tidak berlaku mutlak. Syaratnya adalah ada kesepakatan diantara para dokter bahwa mempertahankan janin ini akan membahayakan kehidupan ibunya. Dan jika janin dipertahankan, akan menyebabkan kematian ibunya. Apabila dokter telah sepakat hal itu, padahal sudah dilakukan segala upaya untuk mempertahankan kehidupannya, namun itu tidak mungkin kecuali dengan menggugurkan janin, dalam rangka menyelamatkan nyawa ibunya, boleh menggugurkannya dalam kondisi ini. Itulah pendapat yang lebih mendekati dalam masalah ini. Sanggahan bagi pendapat pertama yang melarang menggugurkan janin, karena tidak boleh menghilangkan satu nyawa untuk mempertahankan nyawa yang lain. Bisa kita jawab, Sekaran kita memiliki dua jiwa: Ibu dan janin. Jika janin tidak digugurkan, akan menyebabkan kematian ibunya. Padahal kematian ibu lebih besar kerugiannya. Sehingga boleh menggugurkan janin, dalam rangka menghindari bahaya yang lebih besar. 3. Sebelum menginjak usia 120 hari di kandungan, janin berada pada fase segumpal darah dan daging. Apabila dokter menetapkan bahwa pada fase itu janin mengalami cacat yang membahayakan, tidak mungkin bisa disembuhkan, dan jika dibiarkan hidup maka kondisi hidupnnya buruk, menjadi masalah baginya dan bagi keluarganya, maka dalam kondisi ini boleh digugurkan, sesuai dengan permintaan orang tua. Karena janin pada fase ini belum ditiupkan ruh, dan belum disebut manusia. Baru berbentuk mudhghah (segumpal daging) atau ‘alaqah (segumpal darah), sehingga boleh digugurkan. 4. Pada fase 40 hari pertama, boleh digugurkan jika terdapat maslahat yang mendesak secara syariat, atau untuk menghindari bahaya yang pasti terjadi. Diantaranya adalah jika janin ini dibiarkan hidup, akan cacat secara fisik. Sehingga kondisi janin semacam ini, tidakmasalah digugurkan pada fase 40 yang pertama, dengan catatan di atas. Meskipun ada sebagian ulama yang membolehkan untuk menggugurkannya tanpa syarat apapun. Dan itulah zhahir madzhab hambali. Dari penjelasan di atas, para ulama sangat keras menentang tindakan menggugurkan janin setelah berusia 120 hari, kemudian pada fase kedua, fase mudhghah dan ‘alaqah, mereka mengambil sikap keras menentang, namun tidak sebagaimana yang pertama. Adapun pada fase 40 hari pertama, mereka tidak banyak mengambil sikap keras dalam masalah ini. Karena itulah, boleh menggugurkan kandungan pada fase 40 hari pertama…. Allahu a’lam

Tanda-tanda kecil hari Qiamat ; Hilangnya Ilmu dan Menyebarnya kebodohan

Tanda-tanda kecil hari Kiamat : HILANGNYA ILMU DAN MENYEBARNYA KEBODOHAN Diantara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan menyebarnya kebodohan. Dijelaskan dalam ash-Shahiihain dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يُرْفَعَ الْعِلْمُ وَيَثْبُتَ الْجَهْلُ ‘Di antara tanda-tanda Kiamat adalah hilangnya ilmu dan tersebarnya kebodohan.’” [HR Bukhari - Muslim] Al-Bukhari meriwayatkan dari Syaqiq, beliau berkata, “Aku pernah bersama ‘Abdullah dan Abu Musa, keduanya berkata, ‘Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: إِنَّ بَيْنَ يَدَيِ السَّاعَةِ لأَيَّامًا يَنْزِلُ فِيهَا الْجَهْلُ وَيُرْفَعُ فِيهَا الْعِلْمُ ‘Sesungguhnya menjelang datangnya hari Kiamat akan ada beberapa hari di mana kebodohan turun dan ilmu dihilangkan.’” [HR Bukhari] Dalam riwayat Muslim dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: يَتَقَارَبُ الزَّمَانُ وَيُقْبَضُ الْعِلْمُ وَتَظْهَرُ الْفِتَنُ وَيُلْقَى الشُّحُّ وَيَكْثُرُ الْهَرْجُ ‘Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak.’” [HR Muslim] Ibnu Baththal berkata, “Semua yang terkandung dalam hadits ini termasuk tanda-tanda Kiamat yang telah kita saksikan secara jelas, ilmu telah berkurang, kebodohan nampak, kebakhilan dilemparkan ke dalam hati, fitnah tersebar dan banyak pembunuhan.” Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari ungkapan itu dengan perkataannya, “Yang jelas, sesungguhnya yang beliau saksikan adalah banyak disertai adanya (tanda Kiamat) yang akan datang menyusulnya. Sementara yang dimaksud dalam hadits adalah kokohnya keadaan itu hingga tidak tersisa lagi keadaan yang sebaliknya kecuali sangat jarang, dan itulah isyarat dari ungkapan “dicabut ilmu”, maka tidak ada yang tersisa kecuali benar-benar kebodohan yang murni. Akan tetapi hal itu tidak menutup kemungkinan adanya para ulama, karena mereka saat itu adalah orang yang tidak dikenal di tengah-tengah mereka.” Dicabutnya ilmu terjadi dengan diwafatkannya para ulama. Dijelaskan dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu anhuma, beliau berkata, “Aku mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ‘Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu sekaligus dari para hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan para ulama, sehingga ketika tidak tersisa lagi seorang alim, maka manusia akan menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemimpin, lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.’” [HR Bukhari - Muslim] An-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits ini menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan mencabut ilmu dalam hadits-hadits terdahulu yang mutlak bukan menghapusnya dari hati para penghafalnya, akan tetapi maknanya adalah pembawanya meninggal, dan manusia menjadikan orang-orang bodoh sebagai pemutus hukum yang memberikan hukuman dengan kebodohan mereka, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” Yang dimaksud dengan ilmu di sini adalah ilmu al-Qur-an dan as-Sunnah, ia adalah ilmu yang diwariskan dari para Nabi Allaihissallam, karena sesungguhnya para ulama adalah pewaris para Nabi, dan dengan kepergian (wafat)nya mereka, maka hilanglah ilmu, matilah Sunnah-Sunnah Nabi, muncullah berbagai macam bid’ah dan meratalah kebodohan. Adapun ilmu dunia, maka ia terus bertambah, ia bukanlah makna yang dimaksud dalam berbagai hadits. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Lalu mereka ditanya, kemudian mereka akan memberikan fatwa tanpa ilmu, maka mereka sesat lagi menyesatkan orang lain.” [HR Bukhari - Muslim] Kesesatan hanya terjadi ketika bodoh terhadap ilmu agama. Para ulama yang sebenarnya adalah mereka yang mengamalkan ilmu mereka, memberikan arahan kepada umat, dan menunjuki mereka jalan kebenaran dan petunjuk, karena sesungguhnya ilmu tanpa amal adalah sesuatu yang tidak bermanfaat, bahkan akan menjadi musibah bagi pemiliknya. Dijelaskan pula dalam riwayat al-Bukhari: “Dan berkurangnya pengamalan.” [HR Bukhari] Imam adz-Dzahabi rahimahullah ulama besar ahli tarikh (sejarah) Islam berkata setelah memaparkan sebagian pendapat ulama, “Dan mereka tidak diberikan ilmu kecuali hanya sedikit saja. Adapun sekarang, maka tidak tersisa dari ilmu yang sedikit itu kecuali sedikit saja pada sedikit manusia, sungguh sedikit dari mereka yang mengamalkan ilmu yang sedikit tersebut, maka cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita.” Jika hal ini terjadi pada masa Imam adz-Dzahabi, maka bagaimana pula dengan zaman kita sekarang ini? Karena setiap kali zaman itu jauh dari masa kenabian, maka ilmu pun akan semakin sedikit dan banyak kebodohan. Sesungguhnya para Sahabat Radhiyallahu anhum adalah orang yang paling tahu dari umat ini, kemudian para Tabi’in, lalu orang yang mengikuti mereka, dan merekalah sebaik-baik generasi, sebagaimana disabdakan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku, kemudian yang setelahnya, kemudian yang setelahnya.” [HR Muslim] Ilmu senantiasa terus berkurang, sementara kebodohan semakin banyak, sehingga banyak orang yang tidak mengenal kewajiban-kewajiban dalam Islam. Diriwayatkan dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Islam akan hilang sebagaimana hilangnya hiasan pada pakaian sehingga tidak diketahui lagi apa itu puasa, tidak juga shalat, tidak juga haji, tidak juga shadaqah. Kitabullah akan diangkat pada malam hari hingga tidak tersisa di bumi satu ayat pun, yang tersisa hanyalah beberapa kelompok manusia: Kakek-kakek dan nenek-nenek, mereka berkata, ‘Kami men-dapati nenek moyang kami (mengucapkan) kalimat ini, mereka mengucapkan, ‘Laa ilaaha illallaah’, maka kami pun mengucapkannya. Lalu Shilah berkata kepadanya, “(Kalimat) Laa Ilaaha Illallaah tidak berguna bagi mereka, sedangkan mereka tidak mengetahui apa itu shalat, tidak juga puasa, tidak juga haji, dan tidak juga shadaqah. Lalu Hudzaifah berpaling darinya, kemudian beliau mengulang-ulangnya selama tiga kali. Setiap kali ditanyakan hal itu, Hudzaifah berpaling darinya, lalu pada ketiga kalinya Hudzaifah menghadap dan berkata, “Wahai Shilah, kalimat itu menyelamatkan mereka dari Neraka (sebanyak tiga kali).” [HR Ibnu Majah, Hakim] ‘Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Sungguh, al-Qur-an akan dicabut dari pundak-pundak kalian, dia akan diangkat pada malam hari, sehingga ia pergi dari kerongkongan orang-orang. Maka tidak ada yang tersisa darinya di bumi sedikit pun.” [HR. Ath-Thabrani] Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Di akhir zaman (al-Qur-an) dihilangkan dari mushhaf dan dada-dada (ingatan manusia), maka tidak ada yang tersisa satu kata pun di dada-dada manusia, demikian pula tidak ada yang tersisa satu huruf pun dalam mushhaf.” Lebih dahsyat lagi dari hal ini adalah Nama Allah tidak disebut lagi di atas bumi. Sebagaimana dijelaskan di dalam hadits Anas Radhiyallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Tidak akan datang hari Kiamat hingga di bumi tidak lagi disebut: Allah, Allah.” [HR Muslim] Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ada dua pendapat tentang makna hadits ini: Pendapat pertama : Bahwa seseorang tidak mengingkari kemunkaran dan tidak melarang orang yang melakukan kemunkaran. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengibaratkannya dengan ungkapan “tidak lagi disebut: Allah, Allah” sebagaimana dijelaskan sebelumnya dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahu anhuma : ‘Maka yang tersisa di dalamnya (bumi) hanyalah orang-orang bodoh yang tidak mengetahui kebenaran dan tidak mengingkari kemunkaran.’ [HR Ahmad, Hakim] Pendapat kedua : Sehingga tidak lagi disebut dan dikenal Nama Allah di muka bumi. Hal itu terjadi ketika zaman telah rusak, rasa kemanusiaan telah hancur, dan banyaknya kekufuran, kefasikan juga kemaksiatan.”

Ciri-ciri orang meninggal Khusnul Khotimah..

Memang salah satu ciri2 oarng yang khusnul khatimah adalah meninggal pada malam atau siang hari Jum’at, dengan dalil hadits Abdullah bin ‘Amr, beliau menyebutkan sabda Rasulullah: مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوْتُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ “Tidak ada seorang muslimpun yang meninggal pada hari Jum’at atau malam Jum’at, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi)

mengucapkan syahadat ketika hendak meninggal, dengan dalil hadits Mu’adz bin Jabal z, ia menyampaikan dari Rasulullah n: مَنْ كَانَ آخِرُ كَلاَمِهِ لاَ إِلَهَ إِلَّا اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ “Siapa yang akhir ucapannya adalah kalimat ‘La ilaaha illallah’ ia akan masuk surga.” (HR. Al-Hakim)

 meninggal dengan keringat di dahi. Buraidah ibnul Hushaib ketika berada di Khurasan menjenguk saudaranya yang sedang sakit. Didapatkannya saudaranya ini menjelang ajalnya dalam keadaan berkeringat di dahinya. Ia pun berkata, “Allahu Akbar! Aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: مَوْتُ الْمُؤْمِنِ بِعَرَقِ الْجَبِيْنِ “Meninggalnya seorang mukmin dengan keringat di dahi.” (HR. Ahmad, An-Nasa`i, dll. Sanad An-Nasa`i shahih di atas syarat Al-Bukhari)