Minggu, 06 September 2015

Musibah

MUSIBAH Dalam Islam, tingkatan menghadapi musibah dan masalah: 1. Marah (tidak terima) 2. Menahan diri/bersabar (hati mungkin masih tidak terima, tetapi menahan diri) 3. Ridha (hati menerima dan lapang dada) 4. BERSYUKUR karena penghapus dosa dan meningkatkan derajat Ini sebagaimana dijelaskan oleh syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah “Manusia ketika tejadi musibah ada 4 keadaan: [1]Marah, [ 2] Bersabar [3] Ridha [4] Bersyukur. Inilah keadaan manusia ketika terjadinya musibah.” Orang konyol buat masalah… Orang kerdil memperbesar masalah…. Orang biasa membicarakan masalah…. Orang besar mengatasi masalah….. Orang bijak bersyukur dengan masalah…. Orang kreatif melihat peluang dari masalah…. Orang bertaqwa naik derajat karena masalah…. Jadi, tidak ada masalah dengan “masalah”…. Masalahnya, bagaimana cara kita menyikapi “masalah”…. Karena hakikatnya, hidup itu rangkaian “masalah” demi “masalah”. Jadikan “MASALAH” sebagai “Masa mengenal Allah”. Demikianlah ajaran Islam. Mengajarkan bijak menghadapi masalah bahkan bersyukur. Cobaan dan musibah itu selalu datang dan niat Allah adalah agar membersihkan dosa-dosa kita ketika kita bijak menyikapinya, berkhusnudzan bahkan bisa bersyukur. Sehingga bisa jadi kita menghadap Allah tanpa dosa sama sekali Nabi shallallahu ‘alihi wa sallam bersabda, “Cobaan akan selalu menimpa seorang mukmin dan mukminah, baik pada dirinya, pada anaknya maupun pada hartanya, sehingga ia bertemu dengan Allah tanpa dosa sedikitpun.” (Hr.Ahmad) Melihat besarnya keutamaan tersebut, pada hari kiamat nanti, banyak orang yang berandai-andai jika mereka ditimpakan musibah di dunia sehingga menghapus dosa-dosa mereka dan diberikan pahala kesabaran. ”Manusia pada hari kiamat menginginkan kulitnya dipotong-potong dengan gunting ketika di dunia, karena mereka melihat betapa besarnya pahala orang-orang yang tertimpa cobaan di dunia.” (H r.Baihaqi). "Keluarga Muslim"

Menyentuh kemaluan setelah berwudhu

Pendapat tentang menyentuh kemaluan apakah membatalkan wudhu, ada banyak. 1. Langsung batal 2. Tidak batal> 3. Batal nek nyentuhnya pakai syahwat. 4. Wudhu harus menyentuh kemaluan utk membersihkannya Dari Tholq bin ‘Ali di mana ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bertanya, مَسِسْتُ ذَكَرِى أَوِ الرَّجُلُ يَمَسُّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ عَلَيْهِ الْوُضُوءُ قَالَ « لاَ إِنَّمَا هُوَ مِنْكَ “Aku pernah menyentuh kemaluanku atau seseorang ada pula yang menyentuh kemaluannya ketika shalat, apakah ia diharuskan untuk wudhu?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Kemaluanmu itu adalah bagian darimu.” (HR. Ahmad 4/23. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan) Dalam riwayat lain disebutkan bahwa ada seseorang yang mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lantas ia bertanya, يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا تَرَى فِى رَجُلٍ مَسَّ ذَكَرَهُ فِى الصَّلاَةِ قَالَ « وَهَلْ هُوَ إِلاَّ مُضْغَةٌ مِنْكَ أَوْ بَضْعَةٌ مِنْكَ ». “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu mengenai seseorang yang menyentuh kemaluannya ketika shalat?” Beliau bersabda, “Bukankah kemaluan tersebut hanya sekerat daging darimu atau bagian daging darimu?” (HR. An Nasa-i no. 165. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.) Maka saya ngambil pendapat yang terkuat tidak membatalkan wudhu kalau tidak dengan syahwat

Pengangkatan telunjut pada saat tahiyat sholat

bahwa rasulullah pada saat tahiyyat berisyarat dengan telunjuknya... jadi tidak ada keterangan mulai dari mana, makanya dimaknai mulai dari awal hingga akhir. sing mulai AsyhaduAllah, iku memakai petunjuk imam Nawawi dengan berdasarkan hadits yang diriwayatkan imam al Baehaqy, tapi haditsnya dhaif (lemah).

Ketika Musibah Datang

Allâh Ta’ala dalam firman-Nya: Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa (seseorang) kecuali dengan izin Allâh; barang siapa yang beriman kepada Allâh, niscaya Dia akan memberi petunjuk ke (dalam) hatinya. Dan Allâh Maha Mengetahui segala sesuatu (Qs at-Taghâbun/64:11) Imam Ibnu Katsîr rahimahullâh berkata: “Maknanya: seseorang yang ditimpa musibah dan dia meyakini bahwa musibah tersebut merupakan ketentuan dan takdir Allâh Ta’ala, kemudian dia bersabar dan mengharapkan (balasan pahala dari Allâh Ta’ala), disertai (perasaan) tunduk berserah diri kepada ketentuan Allâh Ta’ala tersebut, maka Allâh Ta’ala akan memberikan petunjuk ke (dalam) hatinya dan menggantikan musibah dunia yang menimpanya dengan petunjuk dan keyakinan yang benar dalam hatinya, bahkan bisa jadi Allâh Ta’ala akan menggantikan apa yang hilang darinya dengan sesuatu yang lebih baik baginya.”